Jumat, 09 Januari 2009

Rahasia Rizki

Pada saat kita dalam kandungan Ibu, maka 3 hal telah ditetapkan Allah swt;
hidup- mati, rezeki dan jodoh. Ketiga hal ini merupakan rahasia Allah swt
dan tersimpan dalam Lauhul Mahfuz. Kita coba telaah salah satu dari ketiga
rahasia Allah swt tersebut, yakni rezeki.

Rezeki seseorang telah ditetapkan oleh Allah swt, baik rezeki yang halal
maupun yang haram. Timbul pertanyaan: "Kenapa saya harus dihisab atas rezeki
yang haram, sedangkan Allah telah menetapkannya untuk saya?". Jawabannya
adalah, Allah swt memberikan kemampuan manusia untuk memilih rezeki halal
atau haram, sedangkan orang-orang yang beriman tidak akan menjulurkan
tangannya meraih rezeki yang haram. Jika ia dalam kesusahan, maka dia akan
tetap bersabar dan selalu berusaha (ikhtiar) untuk meraih rezeki yang halal.

Wahai manusia, makanlah oleh kalian apa saja yang halal dan baik yang
terdapat dibumi (Al-Baqarah 168).

Jika hari ini kita ditakdirkan memperoleh rezeki 100 ribu rupiah, maka ada 3
kemungkinan yang akan terjadi:
1. Kita mencopet, maka kita akan memperoleh 100 ribu dan dosa
2. Kita bekerja secara halal, maka kita akan memperoleh 100 ribu dan
pahala
3. Kita duduk saja dirumah dan tiba-tiba saudara kita datang
memberikan
100
ribu, maka kita akan memperoleh 100 ribu serta tanpa pahala dan dosa

Jumlah rezeki telah ditetapkan oleh Allah swt, tetapi proses mendapatkannya
merupakan pilihan-pilihan yang diberikan kepada manusia dan penetapan
pilihan ini yang akan dihisab oleh Allah swt. Jumlah rezeki tidak tergantung
dari proses sebab-akibat yang dilakukan oleh manusia. Karena jika tergantung
dari sebab-akibat, maka seorang tukang becak yang bekerja keras seharusnya
lebih kaya dari seorang Manager yang banyak duduk, maka seorang ulama yang
shaleh dan berdo'a dengan khusyu' lebih kaya dari seorang Direktur yang
mengabaikan perintah Allah swt. Tetapi bukannya kita tidak perlu bekerja
keras dan berdo'a karena keduanya perintah Allah dan menjadi ibadah. Untuk
itu kita seharusnya tidak perlu berputus asa dalam mengarungi kehidupan ini,
karena rezeki itu akan sampai "kealamat" yang benar (pemiliknya).

Mereka semua (mukmin atau kafir) masing-masing Kami limpahi karunia, karena
sesungguhnya pemberian Rab-mu tiada terhalang kepada siapapun (Al-Isra 20).

Seringkali kita menganggap bahwa rezeki berupa kekayaan materi semata; uang,
rumah, mobil, perhiasan, perusahaan, tanah, dll. Padahal rezeki adalah semua
yang dapat kita manfaatkan; udara (oksigen) yang kita hirup, kebutuhan air,
cahaya matahari, hasil hutan, hasil bumi/tambang adalah rezeki juga. Bahkan
kecerdasan otak, kefasihan bicara dan kekuatan/kesehatan tubuh-pun termasuk
rezeki karena dengan modal itu kita dapat bekerja.

Harta yang kita peroleh tidak otomatis menjadi rezeki kita, karena rezeki
adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh pemiliknya. Seorang yang kaya
belum tentu semua hartanya merupakan rezekinya, jika ia termasuk orang yang
sangat kikir sehingga ia tidak membeli rumah tetapi mengontraknya, ia tidak
membeli mobil tetapi naik angkutan umum, pakaiannya jarang diganti yang
baru, tidak berzakat/infaq. Sehingga hartanya semakin berlimpah dan pada
saat ia meninggal harta itu menjadi milik ahli warisnya dan tidak bermanfaat
sedikitpun bagi dirinya. Karena pada saat seorang manusia meninggal maka
terputus amalannya kecuali 3 hal:
1. Ilmu yang bermanfaat (mengajarkan al-Quran/da'wah, mengaji,
shalat,
dll)
2. Shadaqah yang dimanfaatkan orang lain (membangun mesjid,
pengairan,
dll)
3. Do'a anak yang shaleh

Setiap manusia meninggal, maka terputuslah segala amal perbuatannya kecuali
tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang
senantiasa mendo'akannya (Al-Hadist).

Walhasil, rezeki kita akan menuju kepada 3 arah saja:
1. Segala sesuatu yang dimakan dan akan menjadi kotoran (makanan,
minuman,
obat, dll)
2. Segala sesuatu yang digunakan dan akan menjadi sampah (pakaian,
sepatu,
kendaraan, dll)
3. Segala sesuatu yang diinfaqkan dan akan menjadi tabungan akhirat
Selain ketiga hal diatas bukan rezeki kita, tetapi kita hanya diberi amanah
untuk mencarinya, menjaganya dan menyerahkannya kepada pemilik yang
sebenarnya (pemilik asli).

Allah swt selalu menguji keimanan seseorang dan ujian itu tidak hanya berupa
kesulitan/musibah tetapi kesenangan merupakan ujian juga. Rezeki yang
melimpah menjadi ujian bagi manusia, apakah dimanfaatkan dijalan yang halal,
dibayarkan zakatnya, untuk membantu fakir miskin/saudara/tetangga,
diinfaqkan untuk da'wah Islam atau untuk naik haji. Atau disimpan saja tanpa
mempedulikan hal-hal diatas, sehingga rezeki ini membawa petaka bagi dirinya
dan termasuk orang-orang yang merugi.

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebajikan sebagai suatu ujian,
dan kepada Kami kamu akan dikembalikan (Al-Anbiya 35).

Seseorang yang kaya raya maka hisabnya di Yaumil akhir lebih lama, karena
khusus masalah harta ini ada dua pertanyaan; bagaimana cara memperolehnya?
dan untuk apa digunakan?. Sehingga seorang konglomerat Abdurrahman bin Auf,
termasuk 10 sahabat yang dijanjikan masuk syurga, saat diberitakan Nabi saw
bahwa Abdurrahman bin Auf merangkak masuk syurga karena banyaknya harta yang
ia punya dan lamanya hisab yang harus dijalaninya. Mendengar hal itu,
kemudian Abdurrahman bin Auf menginfaq-kan seluruh hartanya berupa 40.000
dirham emas (1 dirham = 4,25 gram emas murni, sehingga sekitar 16 milyar
rupiah!) ditambah perak, unta dan kuda untuk menegakkan agama Allah.
Sanggupkah kita menjadi Abdurrahman bin Auf?, dimana semua hartanya menjadi
rezekinya.

Untuk itu sekarang menjadi pilihan kita atas harta yang kita peroleh,
memanfaatkannya dijalan Allah sehingga menjadi rezeki kita dan tabungan
akhirat atau menjadi kotoran dan sampah. Orang-orang yang beruntung adalah
orang-orang yang pintar memanfaatkan hartanya; membayar zakat, naik haji,
infaq untuk fakir miskin/mesjid/da'wah dan untuk ibadah. Pilihan kita untuk
menentukannya, menjadikannya rezeki kita dan bermanfaat atau hanya sia-sia
saja.

Wallahua'lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar