Kamis, 15 Januari 2009

Izinkan Aku Menciummu, Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu
menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi
dan sore. Setiap hari, aku 'dipaksa' membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan
adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum
semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga
piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua
beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan
menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari
semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang
baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga
masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas,
ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah,
dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya
menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman,
bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan
pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan
dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.
Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar
orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan
penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua
untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga
perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang
dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat
tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku
menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin
merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali
menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga
kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan
uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak
mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya.
Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do'a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya
jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang
sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana
meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang
senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku.
Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku
menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir
ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya
atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku
hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku
mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih
berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak
sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

Abdulaziz Al Ghifary

"Dan kalau kamu berhati keras (kasar), niscaya mereka akan menyingkir dari sisimu." (QS Ali Imran 159)
Sesungguhnya Allah itu maha lemah lembut, mencintai kelemahlembutan dalam setiap perkara." (HR Muttafaq alaih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar